Suatu hari Sultan Harun Al’rashit merasa begitu boring. Kemudian, dia bertanya
Kepada Bendahara, "Bendahara, siapa paling pandai saat ini?"
"Abunawas" jawab Bendahara.
Sultan pun memanggil Abunawas n baginda bertitah: "Kalau kamu pandai, coba
buat satu cerita seratus kata tapi setiap kata mesti dimulai dengan huruf
'J'. kalau kamu bisa, kamu akan saya beri hadiah. tapi, kalau tidak, kamu akan kumasukkan ke dalam penjara selama 10 tahun.”
Terperanjat Abunawas, tapi setelah berfikir, diapun mulai bercerita:
Jeng Juminten janda judes, jelek jerawatan, jari jempolnya jorok. Jeng
juminten jajal jualan jamu jarak jauh Jogya-Jakarta. Jamu jagoannya: jamu
jahe. "Jamu-jamuuu..., jamu jahe-jamu jaheee...!" Juminten jerit-jerit
jajakan jamunya, jelajahi jalanan. Jariknya jatuh, Juminten jatuh
jumpalitan. Jeng Juminten jerit-jerit: "Jarikku jatuh, jarikku jatuh..."
Juminten jengkel, jualan jamunya jungkir-jungkiran, jadi jemu juga. Juminten
jumpa Jack, jejaka Jawa jomblo, juragan jengkol, jantan, juara judo.
Jantungnya Jeng Juminten janda judes jadi jedag-jedug. Juminten janji jera
jualan jamu, jadi julietnya Jack.
Johny justru jadi jelous Juminten jadi juliet-nya Jack. Johny juga jejaka
jomblo, jalang, juga jangkung. Julukannya, Johny Jago Joget. "Jieehhh, Jack
jejaka Jawa, Jum?" joke-nya Johny. Jakunnya jadi jungkat-jungkit jelalatan
jenguk Juminten. "Jangan jealous, John..." jawab Juminten. Jumat, Johny
jambret, jagoannya jembatan Joglo jarinya jawil-jawil jerawatnya Juminten.
Juminten jerit-jerit: "Jack, Jack, Johny jahil, jawil-jawil!!!" Jack
jumping-in jalan, jembatan juga jemuran. Jack jegal Johny, Jebreeet..., Jack
jotos Johny. Jidatnya Johny jenong, jadi jontor juga jendol... jeleekk.
"John, jangan jahilin Juminten...!" jerit Jack... Jantungnya Johny
jedot-jedotan, "Janji, Jack, janji... Johnny jera..." jawab Johny. Juni,
Jack jadikan Johny join jualan jajajan jejer Juminten. Jhony jadi jongosnya
Jack-Juminten, jagain jongko, jualan jus jengkol jajanan jurumudi jurusan
Jogja-Jombang, julukannya Jus Jengkol Johny "jolly-jolly jumper."
Jumpalagi, jek...!!!
jangan joba-joba jikin jerita jayak jini jagi ja...!!! judah...!!!
Rabu, 17 Desember 2008
Cerita dari negeri 1001 malam
HAMPIR semua orang mengenal nama Abu Nawas. Namun di negeri kita, sosok tersebut telanjur dianggap sebagai pelawak. Mungkin hal itu akibat pengaruh buku "Hikayat Abu Nawas" saduran Nur Sutan Iskandar, terbitan Balai Pustaka, yang menjadi bacaan wajib murid-murid sekolah sejak tahun 1930-an hingga 1950-an.
Salah satu taman kota, "Taman Abu Nawas" di Bagdad Irak dihiasi monumen dinding dengan relief cerita Abu Nawas yang hidup merakyat dan berperilaku lucu. Monumen sejenis dengan tema cerita Abu Nawas banyak dijumpai di taman-taman kota di Bagdad dan kota lainnya diIrak
Padahal Abu Nawas (nama sebenarnya Abu Hani Muhammad bin Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, tahun 735 dan meninggal di Bagdhad, tahun 810) adalah seorang sastrawan besar dalam khazanah sastra Arab abad Pertengahan. Bahkan sastrawan terbesar pada zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti Abasiyah tahun 786-809.
Memang, karena kepiawaiannya di bidang bahasa dan sastra Arab, Abu Nawas banyak menggubah sajak-sajak bercorak lelucon dan senda-gurau (mujuniyat). Ia juga sangat ahli merangkai syair tentang cinta dan kecantikan wanita (gazal), pujian terhadap seseorang (madah), bahkan sindiran halus namun tajam (hija). Dan dalam keadaan mabuk minum alkohol khamr), sambil meracau tak karuan, ia menggubah puisi-puisi yang membangga-banggakan minuman keras, yang disebut puisi khumrayat.
Karena kelakuannya yang urakan, tak bermoral, bahkan kemungkina atheis, Abu Nawas tidak disukai kalangan agamawan dan kalangan yang menjunjung tinggi ahlak kesopanan.
Namun menjelang usia tua, ia berubah total. Menjadi tekun beribadah, rendah hati (tawadlu) dan jarang berbicara. Dari beberapa anekdot yang dihimpun para pengamat puisi Abu Nawas, terungkap, kesadaran (al yakhzah) diri Abu Nawas tergugah pada suatu malam "Qadar" (Lailatulkadar). Konon, ketika dalam keadaan "teler" Abu Nawas didatangi seseorang tak dikenal, yang berkata :
"Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu).
Abu Nuwas langsung merasa dirinya sebagai lalat. Bahkan lebih hina dina. Ia sadar, tahun-tahun kehidupannya tidak membawa manfaat sebagaimana garam memberi kesedapan. Justru ia terus-terusan merusak, merusak dan merusak. Padahal merusak dilarang keras oleh Allah SWT. La tufsidu fil ardli. Innallaha la yuhibbul mufsidin (Alquran Surah Al Qashash ayat 77).
Sejak peristiwa "Malam Qadar" itu, Abu Nawas, mengganti syair-syair dengan zikir. Memindahkan malam-malamnya dari kafe, bar atau pub, ke masjid. Ia tidak ingin lagi menjadi lalat. Biar tak jadi apa-apa, asal tidak membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain.
Beberapa kawannya satu "geng" mendatangi Abu Nawas yang sedang i'tikaf di sebuah masjid, pada sepuluh malam terakhir Ramadan.
"Apa yang keluar dari bibirmu sekarang ?" ejek kawan-kawannya.
"Ayat-ayat Alquran," jawab Abu Nawas, kalem.
"Yang kau pikirkan di kepalamu ?"
"Kemahaagungan Allah, yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian, menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang."
"Kau habiskan malam-malammu dengan apa ?"
"Dengan mendekatkan diriku yang hina dina kepada Zat Maha Mulia, yaitu Allah SWT."
"Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana ?"
"Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas," kata Abu Nawas seraya mengutip sabda Nabi Muhammad saw. afdlala ibadati ummatiy tilawatul Qurani. Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca Alquran.
Salah satu puisi karya terakhir Abu Nawas, sebuah puisi religius yang di negeri kita (antara lain di Pondok Modern Gontor) dijadikan "pupujian" seusai salat.
Ilahi, lastulil firdausi 'ala
Wa la aqwa alan naril jahimi
Fahabli taubatan waghfir dzunubi
Fainnaka ghafiru dzanbil adzimi
(Ya Allah, tak pantas buatku surga
Tapi neraka, tak kuat aku akan siksanya
Maka atas segala dosa aku bertaubat
Karena ampunanmu lebih hebat)
Puisi-puisi Abu Nawas bersama kisah hidupnya, ditulis antara lain oleh Mustafa Abdur Razak, dalam buku "Abu Nawas, Hayatuhu wa Sya'iruhu" (1981). Dikenal dan digemari di dunia Barat setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh A.von Kremer "Diwan des Abu Nuwas Grossten Lyrischen Dichters der Araber" (1806).
Abu Nawas mungkin salah satu contoh manusia yang mendapat barakah "Lailatul Qadar". Malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Kita yang sedang saum sambil mengharap ampunan, rahmat dan itqun minannari (pembebasan dari api neraka), tak mustahil mendapat keberuntungan seperti Abu Nawas.
Salah satu taman kota, "Taman Abu Nawas" di Bagdad Irak dihiasi monumen dinding dengan relief cerita Abu Nawas yang hidup merakyat dan berperilaku lucu. Monumen sejenis dengan tema cerita Abu Nawas banyak dijumpai di taman-taman kota di Bagdad dan kota lainnya diIrak
Padahal Abu Nawas (nama sebenarnya Abu Hani Muhammad bin Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, tahun 735 dan meninggal di Bagdhad, tahun 810) adalah seorang sastrawan besar dalam khazanah sastra Arab abad Pertengahan. Bahkan sastrawan terbesar pada zaman kekuasaan Sultan Harun al Rasyid al Abassi, yang menjadi khalifah Dinasti Abasiyah tahun 786-809.
Memang, karena kepiawaiannya di bidang bahasa dan sastra Arab, Abu Nawas banyak menggubah sajak-sajak bercorak lelucon dan senda-gurau (mujuniyat). Ia juga sangat ahli merangkai syair tentang cinta dan kecantikan wanita (gazal), pujian terhadap seseorang (madah), bahkan sindiran halus namun tajam (hija). Dan dalam keadaan mabuk minum alkohol khamr), sambil meracau tak karuan, ia menggubah puisi-puisi yang membangga-banggakan minuman keras, yang disebut puisi khumrayat.
Karena kelakuannya yang urakan, tak bermoral, bahkan kemungkina atheis, Abu Nawas tidak disukai kalangan agamawan dan kalangan yang menjunjung tinggi ahlak kesopanan.
Namun menjelang usia tua, ia berubah total. Menjadi tekun beribadah, rendah hati (tawadlu) dan jarang berbicara. Dari beberapa anekdot yang dihimpun para pengamat puisi Abu Nawas, terungkap, kesadaran (al yakhzah) diri Abu Nawas tergugah pada suatu malam "Qadar" (Lailatulkadar). Konon, ketika dalam keadaan "teler" Abu Nawas didatangi seseorang tak dikenal, yang berkata :
"Ya, Abu Hani, idza lam takun milhan tuslih, fa la takun zubabatan tufsid (Wahai Abu Hani, jika engkau tak mampu menjadi garam yang melezatkan hidangan, janganlah engkau menjadi lalat yang menjijikkan, yang merusak hidangan itu).
Abu Nuwas langsung merasa dirinya sebagai lalat. Bahkan lebih hina dina. Ia sadar, tahun-tahun kehidupannya tidak membawa manfaat sebagaimana garam memberi kesedapan. Justru ia terus-terusan merusak, merusak dan merusak. Padahal merusak dilarang keras oleh Allah SWT. La tufsidu fil ardli. Innallaha la yuhibbul mufsidin (Alquran Surah Al Qashash ayat 77).
Sejak peristiwa "Malam Qadar" itu, Abu Nawas, mengganti syair-syair dengan zikir. Memindahkan malam-malamnya dari kafe, bar atau pub, ke masjid. Ia tidak ingin lagi menjadi lalat. Biar tak jadi apa-apa, asal tidak membawa kerusakan bagi dirinya dan orang lain.
Beberapa kawannya satu "geng" mendatangi Abu Nawas yang sedang i'tikaf di sebuah masjid, pada sepuluh malam terakhir Ramadan.
"Apa yang keluar dari bibirmu sekarang ?" ejek kawan-kawannya.
"Ayat-ayat Alquran," jawab Abu Nawas, kalem.
"Yang kau pikirkan di kepalamu ?"
"Kemahaagungan Allah, yang sudah mengubah manusia buruk seperti kalian, menjadi manusia yang baik seperti aku sekarang."
"Kau habiskan malam-malammu dengan apa ?"
"Dengan mendekatkan diriku yang hina dina kepada Zat Maha Mulia, yaitu Allah SWT."
"Lalu siang-siangmu keluyuran ke mana ?"
"Ke gurun dan samudera petunjuk-Nya yang penuh rahmat dan ampunan. Aku tak akan tersesat di situ, karena firman-firman-Nya amat jelas," kata Abu Nawas seraya mengutip sabda Nabi Muhammad saw. afdlala ibadati ummatiy tilawatul Qurani. Sebaik-baik ibadah umatku adalah membaca Alquran.
Salah satu puisi karya terakhir Abu Nawas, sebuah puisi religius yang di negeri kita (antara lain di Pondok Modern Gontor) dijadikan "pupujian" seusai salat.
Ilahi, lastulil firdausi 'ala
Wa la aqwa alan naril jahimi
Fahabli taubatan waghfir dzunubi
Fainnaka ghafiru dzanbil adzimi
(Ya Allah, tak pantas buatku surga
Tapi neraka, tak kuat aku akan siksanya
Maka atas segala dosa aku bertaubat
Karena ampunanmu lebih hebat)
Puisi-puisi Abu Nawas bersama kisah hidupnya, ditulis antara lain oleh Mustafa Abdur Razak, dalam buku "Abu Nawas, Hayatuhu wa Sya'iruhu" (1981). Dikenal dan digemari di dunia Barat setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh A.von Kremer "Diwan des Abu Nuwas Grossten Lyrischen Dichters der Araber" (1806).
Abu Nawas mungkin salah satu contoh manusia yang mendapat barakah "Lailatul Qadar". Malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Kita yang sedang saum sambil mengharap ampunan, rahmat dan itqun minannari (pembebasan dari api neraka), tak mustahil mendapat keberuntungan seperti Abu Nawas.
Abu Nawas dan Kambing
Di negeri Persia hiduplah seorang lelaki yang bernama Abdul Hamid Al-Kharizmi, lelaki ini adalah seorang saudagar yang kaya raya di daerahnya, tetapi sayang usia perkawinannya yang sudah mencapai lima tahun tidak juga dikaruniai seorang anak. Pada suatu hari, setelah shalat Ashar di Mesjid ia bernazar, “ya Allah swt. jika engkau mengaruniai aku seorang anak maka akan kusembelih seekor kambing yang memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”. Setelah ia pulang dari mesjid, istrinya yang bernama Nazariah berteriak dari jendela rumahnya:
Nazariah : “hai, hoi, cuit-cuit, suamiku tercinta, aku sayang kepadamu, ayo kemari, cepat aku ggak sabaran lagi, kepingen ni, cepat, aku kepengen ngomong”
Abdul heran dengan sikap istrinya seperti itu, dan langsung cepat-cepat dia masuk kerumah dengan penasaran sebesar gunung.
Abdul : h, h, h, h, h, h, nafasnya kecapaian berlari dari jalan menuju kerumahnya “ada apa istriku yang
cantik?”
Nazariah : “aku hamil kang mas”
Abdul : “kamu hamil?, cihui, hui, “
Sambil meloncat-loncat kegirangan di atas tempat tidur, Plok, dia terperosok ke dalam tempat tidurnya yang terbuat dari papan itu.
Tidak lama setelah kejadian itu istrinya melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat cantik dan lucu. Dan diberi nama Sukawati
Pak lurah : “Anak anda kan laki-laki, kenapa diberi nama Sukawati?”
Abdul : “dikarenakan anak saya laki-lakilah makanya saya beri nama Sukawati, jika saya beri nama
Sukawan dia disangka homo.
Abdul : “Hai Malik (ajudannya) cepat kamu cari kambing yang mempunyai tanduk sebesar jengkal manusia”.
Malik : “tanduk sebesar jengkal manusia?” ia heran “mau cari dimana tuan?”
Abdul : “cari di dalam hidungmu dongol, ya cari diseluruh ke seluruh negeri ini”
Beberapa hari kemudian.
Malik : “Tuan Abdul, saya sudah cari kemana-mana tetapi saya tidak menemukan kambing yang punya
tanduk sejengkal manusia”
Abdul : “Bagaimana kalau kita membuat sayembara, cepat buat pengumuman ke seluruh negeri bahwa kita
membutuhkan seekor kambing yang memiliki tanduk sejengkal manusia untuk disembelih”
Menuruti perintah tuannya, Malik segera menempelkan pengumunan di seluruh negeri itu, dan orang-orang yang memiliki kambing yang bertandukpun datang kerumah Abdul, seperti pengawas Pemilu, Abdul memeriksa tanduk kambing yang dibawa tersebut.
Abdul : “hai tuan anda jangan menipu saya, kambing ini tidak memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”
kemudian ia pergi ke kambing lain “jangan main-main tuan, ini tanduk kambing palsu”.
Setelah sekian lama menyeleksi tanduk kambing yang dibawa oleh kontestan sayembara, ternyata tidak satupun yang sesuai dengan nazarnya kepada Allah swt. Abdul hampir putus asa, tiba-tiba.
Abdul : “aha, saya teh ada ide, segera kamu ke ibu kota dan jumpai pak Abu dan katakan saya ingin
meminta tolong masalah saya.
Malik segera menuruti perintah tuannya, dan segera menuju ibu kota dan menjumpai Pak Abu yang punya nama lengkap Abu Nawas.
Malik : “Pak Abu, begini ceritanya, cus, cues, ces. Pak Abu bisa bantu tuan saya”
Pak Abu : “katakan pada tuan kamu, bawa kambing yang punya tanduk dan bayinya tersebut besok pagi ke mesjid Fathun Qarib.
Malik segera pulang dan memberitahukan kepada tuannya bahwa Pak Abu bisa membantu dan cus, cues, ces, sstsst,
Di esok pagi Abdul menjumpai Pak Abu dengan seekor kambing yang punya tanduk dan anaknya yang masih bayi tersebut, beserta istrinya.
Pak Abu : “Baiklah tuan Abdul, jika nazarmua kepada Allah swt. menyembelih kambing yang punya tanduk
sebesar jengkal manusia, sekarang tunjukkan mana kambing yang kau bawa kemari, dan mana anakmu”
Abdul : “ini kambing dan anak saya Pak Abu”
Pak Abu kemudian mengukur tanduk kembing tersebut dengan jengkal anak bayi tersebut dan Pak abu memperlihatkannya ke Abdul
Pak Abu : “sekarang kamu sudah bisa membayar nazarmu kepada Allah swt. karena sudah dapat kambing yang pas”
Abdul : “cihui, uhui, pak Abu memang hebat”, dia meloncat-loncat kegirangan di dalam mesjid setelah melakukan sujud syukur, dan tiba-tiba sleit, dia terpeleset jatuh, karena lantainya baru saja di pel oleh pengurus mesjid itu
Nazariah : “hai, hoi, cuit-cuit, suamiku tercinta, aku sayang kepadamu, ayo kemari, cepat aku ggak sabaran lagi, kepingen ni, cepat, aku kepengen ngomong”
Abdul heran dengan sikap istrinya seperti itu, dan langsung cepat-cepat dia masuk kerumah dengan penasaran sebesar gunung.
Abdul : h, h, h, h, h, h, nafasnya kecapaian berlari dari jalan menuju kerumahnya “ada apa istriku yang
cantik?”
Nazariah : “aku hamil kang mas”
Abdul : “kamu hamil?, cihui, hui, “
Sambil meloncat-loncat kegirangan di atas tempat tidur, Plok, dia terperosok ke dalam tempat tidurnya yang terbuat dari papan itu.
Tidak lama setelah kejadian itu istrinya melahirkan seorang anak laki-laki yang sangat cantik dan lucu. Dan diberi nama Sukawati
Pak lurah : “Anak anda kan laki-laki, kenapa diberi nama Sukawati?”
Abdul : “dikarenakan anak saya laki-lakilah makanya saya beri nama Sukawati, jika saya beri nama
Sukawan dia disangka homo.
Abdul : “Hai Malik (ajudannya) cepat kamu cari kambing yang mempunyai tanduk sebesar jengkal manusia”.
Malik : “tanduk sebesar jengkal manusia?” ia heran “mau cari dimana tuan?”
Abdul : “cari di dalam hidungmu dongol, ya cari diseluruh ke seluruh negeri ini”
Beberapa hari kemudian.
Malik : “Tuan Abdul, saya sudah cari kemana-mana tetapi saya tidak menemukan kambing yang punya
tanduk sejengkal manusia”
Abdul : “Bagaimana kalau kita membuat sayembara, cepat buat pengumuman ke seluruh negeri bahwa kita
membutuhkan seekor kambing yang memiliki tanduk sejengkal manusia untuk disembelih”
Menuruti perintah tuannya, Malik segera menempelkan pengumunan di seluruh negeri itu, dan orang-orang yang memiliki kambing yang bertandukpun datang kerumah Abdul, seperti pengawas Pemilu, Abdul memeriksa tanduk kambing yang dibawa tersebut.
Abdul : “hai tuan anda jangan menipu saya, kambing ini tidak memiliki tanduk sebesar jengkal manusia”
kemudian ia pergi ke kambing lain “jangan main-main tuan, ini tanduk kambing palsu”.
Setelah sekian lama menyeleksi tanduk kambing yang dibawa oleh kontestan sayembara, ternyata tidak satupun yang sesuai dengan nazarnya kepada Allah swt. Abdul hampir putus asa, tiba-tiba.
Abdul : “aha, saya teh ada ide, segera kamu ke ibu kota dan jumpai pak Abu dan katakan saya ingin
meminta tolong masalah saya.
Malik segera menuruti perintah tuannya, dan segera menuju ibu kota dan menjumpai Pak Abu yang punya nama lengkap Abu Nawas.
Malik : “Pak Abu, begini ceritanya, cus, cues, ces. Pak Abu bisa bantu tuan saya”
Pak Abu : “katakan pada tuan kamu, bawa kambing yang punya tanduk dan bayinya tersebut besok pagi ke mesjid Fathun Qarib.
Malik segera pulang dan memberitahukan kepada tuannya bahwa Pak Abu bisa membantu dan cus, cues, ces, sstsst,
Di esok pagi Abdul menjumpai Pak Abu dengan seekor kambing yang punya tanduk dan anaknya yang masih bayi tersebut, beserta istrinya.
Pak Abu : “Baiklah tuan Abdul, jika nazarmua kepada Allah swt. menyembelih kambing yang punya tanduk
sebesar jengkal manusia, sekarang tunjukkan mana kambing yang kau bawa kemari, dan mana anakmu”
Abdul : “ini kambing dan anak saya Pak Abu”
Pak Abu kemudian mengukur tanduk kembing tersebut dengan jengkal anak bayi tersebut dan Pak abu memperlihatkannya ke Abdul
Pak Abu : “sekarang kamu sudah bisa membayar nazarmu kepada Allah swt. karena sudah dapat kambing yang pas”
Abdul : “cihui, uhui, pak Abu memang hebat”, dia meloncat-loncat kegirangan di dalam mesjid setelah melakukan sujud syukur, dan tiba-tiba sleit, dia terpeleset jatuh, karena lantainya baru saja di pel oleh pengurus mesjid itu
Yang Lebih Kaya dan Mencintai Fitnah
Seperti biasa, Abu Nawas berjalan-jalan mengunjungi pasar. Tempat inilah yang paling ia sukai karena dari tempat ini ia dapat mempublikasikan ide-idenya ke masyarakat luas secara langsung.
Tiba-tiba ia berdiri di suatu tempat yang cukup tinggi untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan suara agak keras, ia mulai berpidato."Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al Rasyid."
Seluruh isi pasar terdiam, pandangan tertuju padanya. Orang-orang di pasar itu menunggu- nunggu kalimat berikutnya yang akan dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua tertuju padanya, Abu Nawas semakin percaya diri.
"Kalian harus tahu, bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah"
Tiba-tiba bergemeruhlah suara orang-orang dipasar. Semua orang tersentak mendengar kata-kata yang keluar mulut si Abu Nawas.
"Tenang....tenang.....tenang saudara. Masih ada lagi."
Lagi-lagi seluruh orang pasar terdiam.
"Baginda kita itu, sebenarnya sangaaaaaaat mencintai fitnah."
Meledaklah lagi gemuruh orang seluruh pasar. Banyak yang memprotes omongan Abu Nawas. Tetapi si Abu Nawas nampak tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua lengan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah tangan-tangan dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap raja Harun Al Rasyid.
Dengan muka geram, raja Harun Al Rasyid menginterogasi Abu Nawas dihadapan penasehat-penasehatnya. "Apakah benar dipasar kamu mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari Allah?"
"Benar baginda."
Makin geramlah Harun Al Rasyid.
"Apakah benar kamu juga mengatakan bahwa aku mecintai fitnah?"
"Maaf, Baginda. Itu benar adanya," jawab Abu Nawas tenang.
"Pengawal!! Bawa Abu Nawas ke penjara. Gantung dia besok pagi."
"Tenang, Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu." Abu Nawas memohon dengan ekspresi yang memelas.
"Cepat katakan! Sebelum kau temui ajalmu."
"Begini Baginda. Maksud kata-kata saya bahwa Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda memiliki anak, sedang Allah tidak dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?"
Harun Al Rasyid terdiam. Dia tersenyum dalam hati. "Dasar. Si Abu Nawas."
"Terus, maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?"
"Maksudnya, bahwa Baginda sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?"
Harun Al Rasyid pun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lantas, kenapa kamu teriak-teriak di pasar? Yang nggak ngerti omonganmu kan bisa marah."
"Yah, kalau masyarakat marah. Nanti kan Saya dipanggil oleh, Baginda."
"Kalau Aku sudah memanggil, memang kenapa?"
"Hmmmm....Yah...biar dikasih hadiah, Baginda," ucap Abu Nawas lirih.
Baginda pun hanya bisa tersenyum simpul. Lalu diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas.
Tiba-tiba ia berdiri di suatu tempat yang cukup tinggi untuk di dengar seluruh orang di pasar. Dengan suara agak keras, ia mulai berpidato."Saudara-saudara sekalian. Ada yang perlu saudara-saudara ketahui tentang Raja kita yang tercinta, Baginda Harun Al Rasyid."
Seluruh isi pasar terdiam, pandangan tertuju padanya. Orang-orang di pasar itu menunggu- nunggu kalimat berikutnya yang akan dikeluarkan oleh Abu Nawas. Melihat pandangan semua tertuju padanya, Abu Nawas semakin percaya diri.
"Kalian harus tahu, bahwa sebenarnya Baginda Harun Al Rasyid lebih kaya dari pada Allah"
Tiba-tiba bergemeruhlah suara orang-orang dipasar. Semua orang tersentak mendengar kata-kata yang keluar mulut si Abu Nawas.
"Tenang....tenang.....tenang saudara. Masih ada lagi."
Lagi-lagi seluruh orang pasar terdiam.
"Baginda kita itu, sebenarnya sangaaaaaaat mencintai fitnah."
Meledaklah lagi gemuruh orang seluruh pasar. Banyak yang memprotes omongan Abu Nawas. Tetapi si Abu Nawas nampak tenang-tenang saja tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Tiba-tiba sejumlah tangan merengut kedua lengan Abu Nawas. Tetapi Abu Nawas berusaha tetap tenang. Ia tahu itu adalah tangan-tangan dari punggawa-punggawa kerajaan. Diseretlah Abu Nawas menghadap raja Harun Al Rasyid.
Dengan muka geram, raja Harun Al Rasyid menginterogasi Abu Nawas dihadapan penasehat-penasehatnya. "Apakah benar dipasar kamu mengatakan bahwa Aku lebih kaya dari Allah?"
"Benar baginda."
Makin geramlah Harun Al Rasyid.
"Apakah benar kamu juga mengatakan bahwa aku mecintai fitnah?"
"Maaf, Baginda. Itu benar adanya," jawab Abu Nawas tenang.
"Pengawal!! Bawa Abu Nawas ke penjara. Gantung dia besok pagi."
"Tenang, Baginda. Beri saya kesempatan untuk menjelaskan apa maksud kata-kata saya itu." Abu Nawas memohon dengan ekspresi yang memelas.
"Cepat katakan! Sebelum kau temui ajalmu."
"Begini Baginda. Maksud kata-kata saya bahwa Baginda lebih kaya dari Allah adalah baginda memiliki anak, sedang Allah tidak dimemiliki anak. Bukan begitu Baginda?"
Harun Al Rasyid terdiam. Dia tersenyum dalam hati. "Dasar. Si Abu Nawas."
"Terus, maksud kata-katamu bahwa aku mencintai fitnah?"
"Maksudnya, bahwa Baginda sangat mencintai istri dan anak-anak Baginda sendiri. Padahal mereka dapat menjadi fitnah bagi Baginda. Bukan begitu Baginda?"
Harun Al Rasyid pun hanya bisa geleng-geleng kepala. "Lantas, kenapa kamu teriak-teriak di pasar? Yang nggak ngerti omonganmu kan bisa marah."
"Yah, kalau masyarakat marah. Nanti kan Saya dipanggil oleh, Baginda."
"Kalau Aku sudah memanggil, memang kenapa?"
"Hmmmm....Yah...biar dikasih hadiah, Baginda," ucap Abu Nawas lirih.
Baginda pun hanya bisa tersenyum simpul. Lalu diberikannya sekantung uang dinar ke Abu Nawas.
Hikayat abu nawas dan lelaki kikir
bu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain. Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan orang.
Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat. Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghirup udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja.
Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib. Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang handal dalam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.
Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini bemiat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng. Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian.
Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?"
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
"Engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang. Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat. Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghirup udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja.
Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib. Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang handal dalam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.
Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini bemiat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng. Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian.
Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?"
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
"Engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang. Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
Abu Nawas dan Rumah Sempit
Suatu waktu datanglah seorang pria kepada Abu Nawas. Kedatangannya untuk meminta nasihat dari orang yang terkenal dengan sebutan ahli hikmah itu.
"Wahai Abu Nawas, aku sekarang sedang menghadapi masalah", kata pria itu.
"Masalah apakah itu wahai saudaraku", jawab Abu Nawas
"Rumahku itu sangatlah sempit. Anakku sekarang 5. Mencari rumah yang baru tidaklah mungkin. Adakah caranya agar rumahku itu menjadi lapang?", tanyanya.
"Hmm...baiklah. Pulanglah ke rumahmu, dan bawalah kambing ini masuk ke dalam rumahmu", ujar Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, tidakkah kau salah? Sudah aku katakan rumahku itu sangatlah sempit. Bagaimana mungkin aku merasakan kelapangan kalau kambing ini aku bawa masuk ke dalam rumah?, tanya pria itu kebingungan.
"Sudahlah, bawa saja kambing ini, dan masukkan dia ke dalam rumahmu", kata Abu Nawas.
Akhirnya pria tersebut pulang dan mengerjakan apa yang disuruh oleh Abu Nawas. Namun selang beberapa hari kemudia, datanglah ia kembali kepada Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, benar kataku, sekarang rumahku tambah sempit", keluh pria itu.
"Hmm...pulanglah, dan bawalah masuk sapi ini", jawab Abu Nawas tenang.
"Wahai Abu Nawas, dengan ditambah seekor kambing saja rumahku sudah bertambah sempit, apalagi kalau sapi ini masuk ke dalam rumah", kata pria itu heran.
"Sudahlah, pulanglah dan bawa sapi itu masuk ke rumahmu", jawab Abu Nawas.
Pulanglah pria itu dengan penuh heran. Setibanya di rumah dikerjakanlah apa yang diperintahkan Abu Nawas tadi. Setelah beberapa hari, datanglah kembali pria itu kepada Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, rumahku sekarang terasa bertambah sempit, bagaimana ini?", tanya pria itu.
"Hmm...pulanglah, dan bawalah masuk kerbau ini ke dalam rumahmu", jawab Abu Nawas tenang.
Karena solusi itu sama dengan yang sebelumnya, pulanglah pria itu tanpa banyak tanya, meskipun masih dengan tanda tanya besar di benaknya. Setelah beberapa hari berganti, datanglah kembali pria itu mengadu kepada Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, pertama engkau berikan adalah memasukkan kambing ke dalam rumahku, namun aku malah merasa rumahku bertambah sempit. Yang kedua engkau menyuruhku memasukkan sapi ke dalam rumahku, tapi rumahku terasa semakin sempit. Yang terakhir engkau menyuruhku memasukkan kerbau ke dalam rumahku, tapi rumahku sekarang amatlah sempit aku rasakan. Bagaimana ini wahai Abu Nawas?", tanyanya penuh heran.
"Hmm...baiklah. Sekarang pulanglah dan keluarkan kerbau yang kau masukkan kemarin", jawab Abu Nawas.
Pulanglah pria itu dan dikerjakannya perintah Abu Nawas tadi. Selang beberapa hari kemudian, datanglah ia kembali menemui Abu Nawas.
"Bagaimana keadaan rumahmu sekarang wahai saudaraku?", tanya Abu Nawas.
"Alhamdulillah...rumahku sekarang terasa lapang", jawab pria itu senang.
"Sekarang pulanglah, dan keluarkanlah sapi yang kau masukkan kemarin", kata Abu Nawas.
Beberapa hari kemudian, datanglah kembali pria itu menemui Abu Nawas.
"Bagaimana keadaan rumahmu sekarang wahai saudaraku?", tanya Abu Nawas.
"Alhamdulillah...rumahku sekarang terasa lebih lapang", jawab pria itu riang.
"Sekarang pulanglah, dan keluarkanlah kambing yang kau masukkan kemarin", kata Abu Nawas.
Pulanglah pria itu dan dikerjakannyalah perintah Abu Nawas. Beberapa hari kemudian, datanglah ia menemui Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, aku sekarang sedang menghadapi masalah", kata pria itu.
"Masalah apakah itu wahai saudaraku", jawab Abu Nawas
"Rumahku itu sangatlah sempit. Anakku sekarang 5. Mencari rumah yang baru tidaklah mungkin. Adakah caranya agar rumahku itu menjadi lapang?", tanyanya.
"Hmm...baiklah. Pulanglah ke rumahmu, dan bawalah kambing ini masuk ke dalam rumahmu", ujar Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, tidakkah kau salah? Sudah aku katakan rumahku itu sangatlah sempit. Bagaimana mungkin aku merasakan kelapangan kalau kambing ini aku bawa masuk ke dalam rumah?, tanya pria itu kebingungan.
"Sudahlah, bawa saja kambing ini, dan masukkan dia ke dalam rumahmu", kata Abu Nawas.
Akhirnya pria tersebut pulang dan mengerjakan apa yang disuruh oleh Abu Nawas. Namun selang beberapa hari kemudia, datanglah ia kembali kepada Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, benar kataku, sekarang rumahku tambah sempit", keluh pria itu.
"Hmm...pulanglah, dan bawalah masuk sapi ini", jawab Abu Nawas tenang.
"Wahai Abu Nawas, dengan ditambah seekor kambing saja rumahku sudah bertambah sempit, apalagi kalau sapi ini masuk ke dalam rumah", kata pria itu heran.
"Sudahlah, pulanglah dan bawa sapi itu masuk ke rumahmu", jawab Abu Nawas.
Pulanglah pria itu dengan penuh heran. Setibanya di rumah dikerjakanlah apa yang diperintahkan Abu Nawas tadi. Setelah beberapa hari, datanglah kembali pria itu kepada Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, rumahku sekarang terasa bertambah sempit, bagaimana ini?", tanya pria itu.
"Hmm...pulanglah, dan bawalah masuk kerbau ini ke dalam rumahmu", jawab Abu Nawas tenang.
Karena solusi itu sama dengan yang sebelumnya, pulanglah pria itu tanpa banyak tanya, meskipun masih dengan tanda tanya besar di benaknya. Setelah beberapa hari berganti, datanglah kembali pria itu mengadu kepada Abu Nawas.
"Wahai Abu Nawas, pertama engkau berikan adalah memasukkan kambing ke dalam rumahku, namun aku malah merasa rumahku bertambah sempit. Yang kedua engkau menyuruhku memasukkan sapi ke dalam rumahku, tapi rumahku terasa semakin sempit. Yang terakhir engkau menyuruhku memasukkan kerbau ke dalam rumahku, tapi rumahku sekarang amatlah sempit aku rasakan. Bagaimana ini wahai Abu Nawas?", tanyanya penuh heran.
"Hmm...baiklah. Sekarang pulanglah dan keluarkan kerbau yang kau masukkan kemarin", jawab Abu Nawas.
Pulanglah pria itu dan dikerjakannya perintah Abu Nawas tadi. Selang beberapa hari kemudian, datanglah ia kembali menemui Abu Nawas.
"Bagaimana keadaan rumahmu sekarang wahai saudaraku?", tanya Abu Nawas.
"Alhamdulillah...rumahku sekarang terasa lapang", jawab pria itu senang.
"Sekarang pulanglah, dan keluarkanlah sapi yang kau masukkan kemarin", kata Abu Nawas.
Beberapa hari kemudian, datanglah kembali pria itu menemui Abu Nawas.
"Bagaimana keadaan rumahmu sekarang wahai saudaraku?", tanya Abu Nawas.
"Alhamdulillah...rumahku sekarang terasa lebih lapang", jawab pria itu riang.
"Sekarang pulanglah, dan keluarkanlah kambing yang kau masukkan kemarin", kata Abu Nawas.
Pulanglah pria itu dan dikerjakannyalah perintah Abu Nawas. Beberapa hari kemudian, datanglah ia menemui Abu Nawas.
Kisah Abunawas
Siapakah Abu Nawas? Tokoh yang dinggap badut namun juga dianggap ulama besar ini— sufi, tokoh super lucu yang tiada bandingnya ini aslinya orang Persia yang dilahirkan pada tahun 750 M di Ahwaz meninggal pada tahun 819 M di Baghdad. Setelah dewasa ia mengembara ke Bashra dan Kufa. Di sana ia belajar bahasa Arab dan bergaul rapat sekali dengan orang-orang badui padang pasir. Karena pergaulannya itu ia mahir bahasa Arab dan adat istiadat dan kegemaran orang Arab", la juga pandai bersyair, berpantun dan menyanyi. la sempat pulang ke negerinya, namun pergi lagi ke Baghdad bersama ayahnya, keduanya menghambakan diri kepada Sultan Harun Al Rasyid Raja Baghdad.
Nama Abu Nawas begitu populernya sehingga cerita-cerita yang mengandung humor banyak yang dinisbatkan berasal dari Abu Nawas.
Tokoh semacam Abu Nawas yang mampu mengatasi berbagai persoalan rumit dengan style humor atau bahkan humor politis temyata juga tidak hanya ada di negeri Baghdad. Kita mengenal Syekh Juha yang hampir sama piawainya dengan Abu Nawas juga Nasaruddin Hoja sang sufi yang lucu namun cerdas. Kita juga mengenal Kabayari di Jawa Barat yang konyol namun temyata juga cerdas.
Abu Nawas! Setelah mati pun masih bisa membuat orang tertawa. Di depan makamnya ada pintu gerbang yang terkunci dengan gembok besar sekali. Namun di kanan kiri pintu gerbang itu pagarnya bolong sehingga orang bisa leluasa masuk untuk berziarah ke makamnya. Apa maksudnya dia berbuat demikian. Mungkin itu adalah simbol watak Abu Nawas yang sepertinya tertutup namun sebenarnya terbuka, ada sesuatu yang misteri pada diri Abu Nawas, ia sepertinya bukan orang biasa, bahkan ada yang meyakini bahwa dari kesederhanaannya ia adalah seorang guru sufi namun ia tetap dekat dengan rakyat jelata bahkan konsis membela mereka yang lemah dan tertindas.
Begitu banyak cerita lain yang diadopsi menjadi Kisah Abu Nawas sehingga kadang-kadang cerita tersebut nggak masuk akal bahkan terlalu menyakitkan orang timur, saya curiga jangan-jangan cerita-cerita Abu Nawas yang sangat aneh itu sengaja diciptakan oleh kaum orientalis untuk menjelek-jelekkan masyarakat Islam. Karena itu membaca cerita Abu Nawas kita harus kritis dan waspada.
Nama Abu Nawas begitu populernya sehingga cerita-cerita yang mengandung humor banyak yang dinisbatkan berasal dari Abu Nawas.
Tokoh semacam Abu Nawas yang mampu mengatasi berbagai persoalan rumit dengan style humor atau bahkan humor politis temyata juga tidak hanya ada di negeri Baghdad. Kita mengenal Syekh Juha yang hampir sama piawainya dengan Abu Nawas juga Nasaruddin Hoja sang sufi yang lucu namun cerdas. Kita juga mengenal Kabayari di Jawa Barat yang konyol namun temyata juga cerdas.
Abu Nawas! Setelah mati pun masih bisa membuat orang tertawa. Di depan makamnya ada pintu gerbang yang terkunci dengan gembok besar sekali. Namun di kanan kiri pintu gerbang itu pagarnya bolong sehingga orang bisa leluasa masuk untuk berziarah ke makamnya. Apa maksudnya dia berbuat demikian. Mungkin itu adalah simbol watak Abu Nawas yang sepertinya tertutup namun sebenarnya terbuka, ada sesuatu yang misteri pada diri Abu Nawas, ia sepertinya bukan orang biasa, bahkan ada yang meyakini bahwa dari kesederhanaannya ia adalah seorang guru sufi namun ia tetap dekat dengan rakyat jelata bahkan konsis membela mereka yang lemah dan tertindas.
Begitu banyak cerita lain yang diadopsi menjadi Kisah Abu Nawas sehingga kadang-kadang cerita tersebut nggak masuk akal bahkan terlalu menyakitkan orang timur, saya curiga jangan-jangan cerita-cerita Abu Nawas yang sangat aneh itu sengaja diciptakan oleh kaum orientalis untuk menjelek-jelekkan masyarakat Islam. Karena itu membaca cerita Abu Nawas kita harus kritis dan waspada.
Ahli Filsafat & Abu Nawas
Saat Abu Nawas bekerja di kapal, ada seorang penumpang yang menegurnya, ia adalah seorang Ahli Filsafat.
“Apa kamu pernah belajar filsafat..?”, tanya Ahli Filsafat.
“Tidak.. kenapa?”, jawab Abu Nawas.
“Berarti separuh hidupmu telah tersia-siakan!”, jawab Ahli Filsafat.
Tiba-tiba datang badai besar dan kapalpun terombang-ambing.
Abu Nawas pun bertanya pada Ahli Filsafat, “Apakah kamu pernah belajar berenang..?”.
“Tidak! Kenapa???”, jawab Ahli Filsafat.
“Berarti seluruh hidupmu akan sia-sia..”, sahut Abu Nawas.
“Apa kamu pernah belajar filsafat..?”, tanya Ahli Filsafat.
“Tidak.. kenapa?”, jawab Abu Nawas.
“Berarti separuh hidupmu telah tersia-siakan!”, jawab Ahli Filsafat.
Tiba-tiba datang badai besar dan kapalpun terombang-ambing.
Abu Nawas pun bertanya pada Ahli Filsafat, “Apakah kamu pernah belajar berenang..?”.
“Tidak! Kenapa???”, jawab Ahli Filsafat.
“Berarti seluruh hidupmu akan sia-sia..”, sahut Abu Nawas.
Abu Nawas Memberi Shampo
Suatu kala abunawas berkelana mengelilingi dunia, dan tibalah ia di suatu kota yang tidak ada penduduk laki-lakinya. Karena hari sudah malam dan tidak ada satupun penginapan yang mau menerimanya, maka dengan sangat terpaksa akhirnya ia menumpang bermalam disebuah biara yang semuanya wanita. Pada awalnya sang pemimpin biara menolak kehadiran abunawas tersebut, tapi karena rasa kemanusiaan akhirnya abunawas diperbolehkan menginap hanya satu malam dengan syarat harus hati2 jangan sampai ketahuan oleh biarawati2 yang lain dan ia harus tidur digudang penyimpanan makanan.
Akhirnya ia pun tidur digudang dengan segala perbekalan yang ia bawa. Karena sudah 5 hari tidak mandi abunawas merasa bau badannya seperti bau terasi, dan ia pun nekat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Abunawas pun pergi kekamar mandi dengan langkah yg sangat hati2 sekali. Ketika abunawas hendak gosok gigi tiba2 seorang biarawati yang sangat cantik dan sangat lugu masuk kekamar mandi, abunawas pun tersentak kaget, ia langsung mengangkat kedua tangannya dan diam seperti patung. Dengan rasa keheranan biarawati itupun memegang-megang abunawas yang menyerupai patung tersebut. Dalam hatinya patung apa ya ini??? Kenapa kepala biara naruh disini ya??? Apa ini yang namanya dewa penjaga kamar mandi ya???
Pada puncak keheranannya biarawati tersebut melepas handuk yang menutupi sebagian tubuh abunawas. Ia kaget setengah mati karena burungnya abunawas tiba2 bangun, lalu dipegang-peganglah anunya abunawas tersebut. Karena tidak tahan dgn rasa yang sulit dibayangkan itu, tiba2 sikat gigi yang dipegangnya itu jatuh. Dengan perasaan aneh bercampur senang biarawati itu menatap si abunawas dan iapun berkata "oh dewa engkau memang mengerti kebutuhanku, engkau memberiku sikat gigi disaat sikat gigi punyaku rusak. Terima kasih dewa.. terima kasih 3x". Biarawati tiu segera keluar dari kamar mandi dan menceritakan seluruh kejadian kepada salah satu kawannya. Dengan rasa tidak percaya maka biarawati keduapun segera masuk kekamar mandi. Didalam kamar mandi abunawas yg hendak melanjutkan menyikat gigi walaupun tanpa sikat gigi (pake tangan, red) kembali kaget dengan masuknya biarawati yg lain, dan iapun kembali mematung seperti semula. Biarawati yg ini tanpa basa-basi langsung mememgang anunya si abunawas seperti anjuran temannya tsb. Hampir sama dengan kejadian pertama, karena tidak tahan dengan rasa yg super enak tersebut maka kali ini odol siabunawas jatuh.
Sang biarawati itupun merasa kegirangan dan langsung menyembah-nyembah si abunawas, sambil berkata "terima kasih dewa..terima kasih.. Dewa tau aja odol saya sudah abis. Terima kasih 3x", lalu iapun segera keluar dari kamar mandi tersebut. Tanpa sengaja hal tersebut telah diketahui oleh biarawati lain yang terkenal paling iseng. Iapun langsung masuk kekamar mandi dan langsung melakukan seperti apa yang dilihatnya barusan. Karena sudah tidak pegang apa2, abunawas pun hanya bisa menahan rasa geli yg super dahsyat itu. Lama kelamaan biarawati terakhir rupanya jengkel juga, karena sudah lama ia pegang2 kok tidak dikasih apa2. Dengan rasa kesalnya maka iapun mengocok anunya siabunawas, dan karena sudah tidak tahan lagi maka abunawaspun melepaskan tembakan yang sudah lama ia tahan2 dari tadi. Crot..crot..crot..kena mukanya biarawati tersebut. Tapi sungguh heran tiba2 biarawati itu loncat kegirangan, sambil berkata "hore..hore..gue dapet shampo..gue dapet shampo"....
Akhirnya ia pun tidur digudang dengan segala perbekalan yang ia bawa. Karena sudah 5 hari tidak mandi abunawas merasa bau badannya seperti bau terasi, dan ia pun nekat pergi ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. Abunawas pun pergi kekamar mandi dengan langkah yg sangat hati2 sekali. Ketika abunawas hendak gosok gigi tiba2 seorang biarawati yang sangat cantik dan sangat lugu masuk kekamar mandi, abunawas pun tersentak kaget, ia langsung mengangkat kedua tangannya dan diam seperti patung. Dengan rasa keheranan biarawati itupun memegang-megang abunawas yang menyerupai patung tersebut. Dalam hatinya patung apa ya ini??? Kenapa kepala biara naruh disini ya??? Apa ini yang namanya dewa penjaga kamar mandi ya???
Pada puncak keheranannya biarawati tersebut melepas handuk yang menutupi sebagian tubuh abunawas. Ia kaget setengah mati karena burungnya abunawas tiba2 bangun, lalu dipegang-peganglah anunya abunawas tersebut. Karena tidak tahan dgn rasa yang sulit dibayangkan itu, tiba2 sikat gigi yang dipegangnya itu jatuh. Dengan perasaan aneh bercampur senang biarawati itu menatap si abunawas dan iapun berkata "oh dewa engkau memang mengerti kebutuhanku, engkau memberiku sikat gigi disaat sikat gigi punyaku rusak. Terima kasih dewa.. terima kasih 3x". Biarawati tiu segera keluar dari kamar mandi dan menceritakan seluruh kejadian kepada salah satu kawannya. Dengan rasa tidak percaya maka biarawati keduapun segera masuk kekamar mandi. Didalam kamar mandi abunawas yg hendak melanjutkan menyikat gigi walaupun tanpa sikat gigi (pake tangan, red) kembali kaget dengan masuknya biarawati yg lain, dan iapun kembali mematung seperti semula. Biarawati yg ini tanpa basa-basi langsung mememgang anunya si abunawas seperti anjuran temannya tsb. Hampir sama dengan kejadian pertama, karena tidak tahan dengan rasa yg super enak tersebut maka kali ini odol siabunawas jatuh.
Sang biarawati itupun merasa kegirangan dan langsung menyembah-nyembah si abunawas, sambil berkata "terima kasih dewa..terima kasih.. Dewa tau aja odol saya sudah abis. Terima kasih 3x", lalu iapun segera keluar dari kamar mandi tersebut. Tanpa sengaja hal tersebut telah diketahui oleh biarawati lain yang terkenal paling iseng. Iapun langsung masuk kekamar mandi dan langsung melakukan seperti apa yang dilihatnya barusan. Karena sudah tidak pegang apa2, abunawas pun hanya bisa menahan rasa geli yg super dahsyat itu. Lama kelamaan biarawati terakhir rupanya jengkel juga, karena sudah lama ia pegang2 kok tidak dikasih apa2. Dengan rasa kesalnya maka iapun mengocok anunya siabunawas, dan karena sudah tidak tahan lagi maka abunawaspun melepaskan tembakan yang sudah lama ia tahan2 dari tadi. Crot..crot..crot..kena mukanya biarawati tersebut. Tapi sungguh heran tiba2 biarawati itu loncat kegirangan, sambil berkata "hore..hore..gue dapet shampo..gue dapet shampo"....
Antara Abu Nawas, Kuda dan Senyum
Suatu ketika Abu Nawas ingin melakukan sebuah perjalanan jauh. Untuk itu ia ingin membeli seekor kuda tangguh yang sekiranya dapat mengantar ia ke tujuannya. Maka pergilah ia menuju sebuah pasar ternak. Setelah melakukan beberapa test drive, tak lama kemudian ia mendapatkan seekor kuda jantan hitam yang dibelinya dengan harga mahal.
Dengan rasa bangga, ia pun menunggangi kuda tersebut menuju rumahnya, tak sabar ingin memperlihatkan ?kendaraan? baru kepada istrinya. Sesampainya dirumah, ia lalu melompat dari punggung kudanya dan berlari masuk kerumah seraya memanggil istrinya. Ia lupa mengikat kuda barunya.
?Istriku, aku telah membeli seekor kuda dari uang tabungan kita selama setahun, kuda itu larinya cepat sekali, maukah kau melihatnya? Dia ada di depan, aku bahkan telah memberinya nama, Aswad, karena dia berwarna hitam? ucap Abu Nawas dengan girang sambil menarik lengan istrinya menuju halaman depan rumah mereka.
Setibanya di depan halaman rumah, Abu Nawas tak menemukan Aswad di tempat ?parkirnya.?
?Mana kudanya?? tanya sang istri.
?Innalillahi wa inna ilaihi rojiun? ucap Abu Nawas dengan bibirnya yang pucat.
?Si Aswad raib? Ucapnya lagi.
Istri Abu Nawas baru saja ingin mengumpat ketika ia melihat Abu Nawas tersenyum-senyum sambil berucap syukur. Terheran-heran ia bertanya kepada suaminya ?Kenapa tersenyum? baru saja kita kehilangan seekor kuda bodoh yang kau beli dari uang hasil tabungan kita selama setahun?
?Aku bersyukur kepada-Nya atas kebijaksanaan-Nya yang menakdirkan bahwa aku tidak sedang menunggangi kuda itu, kalau tidak, sekarang aku tentu hilang juga.? Ucapnya sambil setengah tertawa. (Sebagian cerita disadur dari Humor-Humor Sufi karangan Massud Farzan, 1992)
Kita bisa saja menilai Abu Nawas sebagai laki-laki ceroboh dan bodoh, tapi di sisi lain, keikhlasan dan kearifannya patut kita teladani. Mengapa tidak, istirja?nya diikuti oleh syukur hanya berselang hitungan detik. Ia tak perlu merasa sedih berlarut-larut akibat musibah yang menimpanya karena ia dapat menemukan hikmah di balik musibah tersebut. ?Two thumbs up? kata orang-orang bule sana.
Seberapapun kapasitas keimanan kita, sudah selayaknyalah kita kembali merenungkan bahwa segala sesuatu yang kita miliki sebenarnya bukan milik kita, melainkan milik Sang Maha Kuasa yang ?dititip? kepada kita. Nothing that I have is trully mine kata Dido dalam lagunya Life For Rent. Hape, motor, mobil, jabatan, kesehatan, rumah, anak, istri, orang tua, bahkan nyawa sendiri suatu saat akan diambil Si Empunya. Kapanpun, dimanapun, entah hilang, dicuri, terbakar atau cara apapun yang digunakan oleh Sang Khalik untuk mengambilnya kembali.
Bersedih, menyesal, marah dan menyalahkan orang lain, adalah hal yang lazim bagi setiap orang ketika menghadapi sebuah musibah dan cobaan. Tapi pertanyaannya, apakah sikap tersebut dapat mengembalikan keadaan seperti semula? Atau malah semakin memperburuk keadaan?
Dari cerita Abu Nawas di atas, kita dapat mengambil sebuah pesan, bahwa dalam menghadapi sebuah musibah dan cobaan, bersabar dan menerima dengan ikhlas adalah cara yang tepat ketimbang bersedih dan menyesal. Tak ada alasan bagi orang beriman untuk bersedih (Al Imron:139), karna bukan tidak mungkin musibah itu membawa sebuah kemudahan, anugrah atau hikmah. Inna maal usri yusron.
Layaknya bianglala yang muncul setelah hujan lebat. Maka ketika badai datang, janganlah menunggu badai itu hingga reda, tapi tunggulah pelangi di sudut bumi, maka dingin takkan kau rasakan.
Dan ketika musibah menimpa, dapatkah kita tersenyum layaknya Abu Nawas?
Dengan rasa bangga, ia pun menunggangi kuda tersebut menuju rumahnya, tak sabar ingin memperlihatkan ?kendaraan? baru kepada istrinya. Sesampainya dirumah, ia lalu melompat dari punggung kudanya dan berlari masuk kerumah seraya memanggil istrinya. Ia lupa mengikat kuda barunya.
?Istriku, aku telah membeli seekor kuda dari uang tabungan kita selama setahun, kuda itu larinya cepat sekali, maukah kau melihatnya? Dia ada di depan, aku bahkan telah memberinya nama, Aswad, karena dia berwarna hitam? ucap Abu Nawas dengan girang sambil menarik lengan istrinya menuju halaman depan rumah mereka.
Setibanya di depan halaman rumah, Abu Nawas tak menemukan Aswad di tempat ?parkirnya.?
?Mana kudanya?? tanya sang istri.
?Innalillahi wa inna ilaihi rojiun? ucap Abu Nawas dengan bibirnya yang pucat.
?Si Aswad raib? Ucapnya lagi.
Istri Abu Nawas baru saja ingin mengumpat ketika ia melihat Abu Nawas tersenyum-senyum sambil berucap syukur. Terheran-heran ia bertanya kepada suaminya ?Kenapa tersenyum? baru saja kita kehilangan seekor kuda bodoh yang kau beli dari uang hasil tabungan kita selama setahun?
?Aku bersyukur kepada-Nya atas kebijaksanaan-Nya yang menakdirkan bahwa aku tidak sedang menunggangi kuda itu, kalau tidak, sekarang aku tentu hilang juga.? Ucapnya sambil setengah tertawa. (Sebagian cerita disadur dari Humor-Humor Sufi karangan Massud Farzan, 1992)
Kita bisa saja menilai Abu Nawas sebagai laki-laki ceroboh dan bodoh, tapi di sisi lain, keikhlasan dan kearifannya patut kita teladani. Mengapa tidak, istirja?nya diikuti oleh syukur hanya berselang hitungan detik. Ia tak perlu merasa sedih berlarut-larut akibat musibah yang menimpanya karena ia dapat menemukan hikmah di balik musibah tersebut. ?Two thumbs up? kata orang-orang bule sana.
Seberapapun kapasitas keimanan kita, sudah selayaknyalah kita kembali merenungkan bahwa segala sesuatu yang kita miliki sebenarnya bukan milik kita, melainkan milik Sang Maha Kuasa yang ?dititip? kepada kita. Nothing that I have is trully mine kata Dido dalam lagunya Life For Rent. Hape, motor, mobil, jabatan, kesehatan, rumah, anak, istri, orang tua, bahkan nyawa sendiri suatu saat akan diambil Si Empunya. Kapanpun, dimanapun, entah hilang, dicuri, terbakar atau cara apapun yang digunakan oleh Sang Khalik untuk mengambilnya kembali.
Bersedih, menyesal, marah dan menyalahkan orang lain, adalah hal yang lazim bagi setiap orang ketika menghadapi sebuah musibah dan cobaan. Tapi pertanyaannya, apakah sikap tersebut dapat mengembalikan keadaan seperti semula? Atau malah semakin memperburuk keadaan?
Dari cerita Abu Nawas di atas, kita dapat mengambil sebuah pesan, bahwa dalam menghadapi sebuah musibah dan cobaan, bersabar dan menerima dengan ikhlas adalah cara yang tepat ketimbang bersedih dan menyesal. Tak ada alasan bagi orang beriman untuk bersedih (Al Imron:139), karna bukan tidak mungkin musibah itu membawa sebuah kemudahan, anugrah atau hikmah. Inna maal usri yusron.
Layaknya bianglala yang muncul setelah hujan lebat. Maka ketika badai datang, janganlah menunggu badai itu hingga reda, tapi tunggulah pelangi di sudut bumi, maka dingin takkan kau rasakan.
Dan ketika musibah menimpa, dapatkah kita tersenyum layaknya Abu Nawas?
Abu Nawas Menghitung Kematian
ABU Nawas memang terkenal kecerdikannya. Dari kalangan istana sampai ke desa, tak ada orang yang tak tahu Abu Nawas. Suatu hari Raja Harun hendak mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Baginda ingin rakyatnya juga ikut merayakan dan merasa senang di hari bahagia itu.
Di hari yang telah ditentukan, rakyat dikumpulkan depan balairung istama. Baginda lalu berdiri dan berkata, "Rakyatku tercinta, hari ini kita mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Aku akan memberi hadiah kepada para fakir miskin. Aku juga akan memberikan pengampunan kepada tahanan di penjara, dengan mengurangi hukuman tersebut setengah dari sisa hukumnya," begitu sabda Baginda Harun Al Rasyid dengan arif.
Kemudian para pengawal membagi-bagikan hadiah tersebut kepada fakir miskin. Usai itu, Raja lalu memanggil para tahanan.
"Sofyan berapa tahun hukumanmu?" tanya Baginda. Sofyan pun menjawab, "Dua tahun Baginda."
"Sudah berapa tahun yang kamu laksanakan?" tanya Baginda lagi.
"Satu tahun Baginda," sahutnya.
"Kalau begitu, sisa hukumanmu yang satu tahun aku kurang setengah tahun sehingga hukumanmu tinggal 6 bulan lagi," tegas Baginda.
Selanjutnya, dipanggillah Ali. "Berapa tahun hukumanmu?" Baginda bertanya.
Dengan nada sedih, Ali menjawab, "Mohon ampun sebelumnya Baginda, hamba dihukum seumur hidup."
Mendengar jawaban Ali tersebut, Baginda menjadi bingung. Ditengah kebingungannya, beliau teringat dengan Abu Nawas.
"Abu, ini ada masalah mengenai hadiah pengampunan bagi Ali. Dia dihukum seumur hidup sedang aku berjanji akan memberikan pengampunan setengah dari sisa hukumannya, padahal aku tidak tahu sampai umur berapa Ali hidup. Sekarang aku minta nasihatmu bagaimana caranya memberi pengampunan kepada Ali dari sisa hukumannya," jelas Baginda.
Mendengar hal tersebut, Abu Nawas pun dibuat bingung. Dia berpikir, apa bisa mengurangi umur orang, padahal dia sendiri tidak tahu sampai berapa umurnya. "Hamba minta waktu Baginda!" ujar Abu.
Oleh Baginda, Abu Nawas diberi waktu sehari semalam. "Bila besok kamu tak bisa memberikan jawabannya, kamu akan menggantikan hukuman si Ali," begitu perintah Baginda.
Sampai di rumah, Abu Nawas pun berpikir keras menemukan pemecahan masalah tersebut. Dia tak bisa tidur memikirkannya. Namun setelah beberapa waktu, tampak Abu Nawas senyum-senyum kelihatan gembira. Abu Nawas lalu masuk ke rumah dan tidur dengan nyenyak.
Pagi-pagi sekali, Abu Nawas telah bangun. Setelah mandi dan sarapan, Abu Nawas pergi menuju istana. "Hamba sudah mendapatkan cara untuk memecahkan masalah si Ali," jawab Abu Nawas saat menghadap Baginda.
"Kalau memang sudah temukan caranya, cepatlah utarakan kepadaku," kata Baginda tak sabar.
"Begini Baginda, sebaiknya si Ali berada diluar penjara dan bisa bebas selama satu hari, lalu besoknya dimasukkan kedalam penjara juga selama satu hari. Lusa juga bebas sehari, begitu berlangsung selama umur si Ali."
"Ehm...he..he.." Baginda Harun tersenyum. "Kamu memang pandai Abu. Kalau begitu kamu juga akan aku beri hadiah, yaitu sekantung keping emas." Raja Harun lalu memerintahkan pengawalnya agar mengambil sekantung keping emas di tempat penyimpanannya. Lalu diberikan kepada Abu Nawas. (**)< ABU Nawas memang terkenal kecerdikannya. Dari kalangan istana sampai ke desa, tak ada orang yang tak tahu Abu Nawas. Suatu hari Raja Harun hendak mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Baginda ingin rakyatnya juga ikut merayakan dan merasa senang di hari bahagia itu.
Di hari yang telah ditentukan, rakyat dikumpulkan depan balairung istama. Baginda lalu berdiri dan berkata, "Rakyatku tercinta, hari ini kita mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Aku akan memberi hadiah kepada para fakir miskin. Aku juga akan memberikan pengampunan kepada tahanan di penjara, dengan mengurangi hukuman tersebut setengah dari sisa hukumnya," begitu sabda Baginda Harun Al Rasyid dengan arif.
Kemudian para pengawal membagi-bagikan hadiah tersebut kepada fakir miskin. Usai itu, Raja lalu memanggil para tahanan.
"Sofyan berapa tahun hukumanmu?" tanya Baginda. Sofyan pun menjawab, "Dua tahun Baginda."
"Sudah berapa tahun yang kamu laksanakan?" tanya Baginda lagi.
"Satu tahun Baginda," sahutnya.
"Kalau begitu, sisa hukumanmu yang satu tahun aku kurang setengah tahun sehingga hukumanmu tinggal 6 bulan lagi," tegas Baginda.
Selanjutnya, dipanggillah Ali. "Berapa tahun hukumanmu?" Baginda bertanya.
Dengan nada sedih, Ali menjawab, "Mohon ampun sebelumnya Baginda, hamba dihukum seumur hidup."
Mendengar jawaban Ali tersebut, Baginda menjadi bingung. Ditengah kebingungannya, beliau teringat dengan Abu Nawas.
"Abu, ini ada masalah mengenai hadiah pengampunan bagi Ali. Dia dihukum seumur hidup sedang aku berjanji akan memberikan pengampunan setengah dari sisa hukumannya, padahal aku tidak tahu sampai umur berapa Ali hidup. Sekarang aku minta nasihatmu bagaimana caranya memberi pengampunan kepada Ali dari sisa hukumannya," jelas Baginda.
Mendengar hal tersebut, Abu Nawas pun dibuat bingung. Dia berpikir, apa bisa mengurangi umur orang, padahal dia sendiri tidak tahu sampai berapa umurnya. "Hamba minta waktu Baginda!" ujar Abu.
Oleh Baginda, Abu Nawas diberi waktu sehari semalam. "Bila besok kamu tak bisa memberikan jawabannya, kamu akan menggantikan hukuman si Ali," begitu perintah Baginda.
Sampai di rumah, Abu Nawas pun berpikir keras menemukan pemecahan masalah tersebut. Dia tak bisa tidur memikirkannya. Namun setelah beberapa waktu, tampak Abu Nawas senyum-senyum kelihatan gembira. Abu Nawas lalu masuk ke rumah dan tidur dengan nyenyak.
Pagi-pagi sekali, Abu Nawas telah bangun. Setelah mandi dan sarapan, Abu Nawas pergi menuju istana. "Hamba sudah mendapatkan cara untuk memecahkan masalah si Ali," jawab Abu Nawas saat menghadap Baginda.
"Kalau memang sudah temukan caranya, cepatlah utarakan kepadaku," kata Baginda tak sabar.
"Begini Baginda, sebaiknya si Ali berada diluar penjara dan bisa bebas selama satu hari, lalu besoknya dimasukkan kedalam penjara juga selama satu hari. Lusa juga bebas sehari, begitu berlangsung selama umur si Ali."
"Ehm...he..he.." Baginda Harun tersenyum. "Kamu memang pandai Abu. Kalau begitu kamu juga akan aku beri hadiah, yaitu sekantung keping emas." Raja Harun lalu memerintahkan pengawalnya agar mengambil sekantung keping emas di tempat penyimpanannya. Lalu diberikan kepada Abu Nawas. (**)
Di hari yang telah ditentukan, rakyat dikumpulkan depan balairung istama. Baginda lalu berdiri dan berkata, "Rakyatku tercinta, hari ini kita mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Aku akan memberi hadiah kepada para fakir miskin. Aku juga akan memberikan pengampunan kepada tahanan di penjara, dengan mengurangi hukuman tersebut setengah dari sisa hukumnya," begitu sabda Baginda Harun Al Rasyid dengan arif.
Kemudian para pengawal membagi-bagikan hadiah tersebut kepada fakir miskin. Usai itu, Raja lalu memanggil para tahanan.
"Sofyan berapa tahun hukumanmu?" tanya Baginda. Sofyan pun menjawab, "Dua tahun Baginda."
"Sudah berapa tahun yang kamu laksanakan?" tanya Baginda lagi.
"Satu tahun Baginda," sahutnya.
"Kalau begitu, sisa hukumanmu yang satu tahun aku kurang setengah tahun sehingga hukumanmu tinggal 6 bulan lagi," tegas Baginda.
Selanjutnya, dipanggillah Ali. "Berapa tahun hukumanmu?" Baginda bertanya.
Dengan nada sedih, Ali menjawab, "Mohon ampun sebelumnya Baginda, hamba dihukum seumur hidup."
Mendengar jawaban Ali tersebut, Baginda menjadi bingung. Ditengah kebingungannya, beliau teringat dengan Abu Nawas.
"Abu, ini ada masalah mengenai hadiah pengampunan bagi Ali. Dia dihukum seumur hidup sedang aku berjanji akan memberikan pengampunan setengah dari sisa hukumannya, padahal aku tidak tahu sampai umur berapa Ali hidup. Sekarang aku minta nasihatmu bagaimana caranya memberi pengampunan kepada Ali dari sisa hukumannya," jelas Baginda.
Mendengar hal tersebut, Abu Nawas pun dibuat bingung. Dia berpikir, apa bisa mengurangi umur orang, padahal dia sendiri tidak tahu sampai berapa umurnya. "Hamba minta waktu Baginda!" ujar Abu.
Oleh Baginda, Abu Nawas diberi waktu sehari semalam. "Bila besok kamu tak bisa memberikan jawabannya, kamu akan menggantikan hukuman si Ali," begitu perintah Baginda.
Sampai di rumah, Abu Nawas pun berpikir keras menemukan pemecahan masalah tersebut. Dia tak bisa tidur memikirkannya. Namun setelah beberapa waktu, tampak Abu Nawas senyum-senyum kelihatan gembira. Abu Nawas lalu masuk ke rumah dan tidur dengan nyenyak.
Pagi-pagi sekali, Abu Nawas telah bangun. Setelah mandi dan sarapan, Abu Nawas pergi menuju istana. "Hamba sudah mendapatkan cara untuk memecahkan masalah si Ali," jawab Abu Nawas saat menghadap Baginda.
"Kalau memang sudah temukan caranya, cepatlah utarakan kepadaku," kata Baginda tak sabar.
"Begini Baginda, sebaiknya si Ali berada diluar penjara dan bisa bebas selama satu hari, lalu besoknya dimasukkan kedalam penjara juga selama satu hari. Lusa juga bebas sehari, begitu berlangsung selama umur si Ali."
"Ehm...he..he.." Baginda Harun tersenyum. "Kamu memang pandai Abu. Kalau begitu kamu juga akan aku beri hadiah, yaitu sekantung keping emas." Raja Harun lalu memerintahkan pengawalnya agar mengambil sekantung keping emas di tempat penyimpanannya. Lalu diberikan kepada Abu Nawas. (**)< ABU Nawas memang terkenal kecerdikannya. Dari kalangan istana sampai ke desa, tak ada orang yang tak tahu Abu Nawas. Suatu hari Raja Harun hendak mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Baginda ingin rakyatnya juga ikut merayakan dan merasa senang di hari bahagia itu.
Di hari yang telah ditentukan, rakyat dikumpulkan depan balairung istama. Baginda lalu berdiri dan berkata, "Rakyatku tercinta, hari ini kita mengadakan pesta ulang tahun kerajaan. Aku akan memberi hadiah kepada para fakir miskin. Aku juga akan memberikan pengampunan kepada tahanan di penjara, dengan mengurangi hukuman tersebut setengah dari sisa hukumnya," begitu sabda Baginda Harun Al Rasyid dengan arif.
Kemudian para pengawal membagi-bagikan hadiah tersebut kepada fakir miskin. Usai itu, Raja lalu memanggil para tahanan.
"Sofyan berapa tahun hukumanmu?" tanya Baginda. Sofyan pun menjawab, "Dua tahun Baginda."
"Sudah berapa tahun yang kamu laksanakan?" tanya Baginda lagi.
"Satu tahun Baginda," sahutnya.
"Kalau begitu, sisa hukumanmu yang satu tahun aku kurang setengah tahun sehingga hukumanmu tinggal 6 bulan lagi," tegas Baginda.
Selanjutnya, dipanggillah Ali. "Berapa tahun hukumanmu?" Baginda bertanya.
Dengan nada sedih, Ali menjawab, "Mohon ampun sebelumnya Baginda, hamba dihukum seumur hidup."
Mendengar jawaban Ali tersebut, Baginda menjadi bingung. Ditengah kebingungannya, beliau teringat dengan Abu Nawas.
"Abu, ini ada masalah mengenai hadiah pengampunan bagi Ali. Dia dihukum seumur hidup sedang aku berjanji akan memberikan pengampunan setengah dari sisa hukumannya, padahal aku tidak tahu sampai umur berapa Ali hidup. Sekarang aku minta nasihatmu bagaimana caranya memberi pengampunan kepada Ali dari sisa hukumannya," jelas Baginda.
Mendengar hal tersebut, Abu Nawas pun dibuat bingung. Dia berpikir, apa bisa mengurangi umur orang, padahal dia sendiri tidak tahu sampai berapa umurnya. "Hamba minta waktu Baginda!" ujar Abu.
Oleh Baginda, Abu Nawas diberi waktu sehari semalam. "Bila besok kamu tak bisa memberikan jawabannya, kamu akan menggantikan hukuman si Ali," begitu perintah Baginda.
Sampai di rumah, Abu Nawas pun berpikir keras menemukan pemecahan masalah tersebut. Dia tak bisa tidur memikirkannya. Namun setelah beberapa waktu, tampak Abu Nawas senyum-senyum kelihatan gembira. Abu Nawas lalu masuk ke rumah dan tidur dengan nyenyak.
Pagi-pagi sekali, Abu Nawas telah bangun. Setelah mandi dan sarapan, Abu Nawas pergi menuju istana. "Hamba sudah mendapatkan cara untuk memecahkan masalah si Ali," jawab Abu Nawas saat menghadap Baginda.
"Kalau memang sudah temukan caranya, cepatlah utarakan kepadaku," kata Baginda tak sabar.
"Begini Baginda, sebaiknya si Ali berada diluar penjara dan bisa bebas selama satu hari, lalu besoknya dimasukkan kedalam penjara juga selama satu hari. Lusa juga bebas sehari, begitu berlangsung selama umur si Ali."
"Ehm...he..he.." Baginda Harun tersenyum. "Kamu memang pandai Abu. Kalau begitu kamu juga akan aku beri hadiah, yaitu sekantung keping emas." Raja Harun lalu memerintahkan pengawalnya agar mengambil sekantung keping emas di tempat penyimpanannya. Lalu diberikan kepada Abu Nawas. (**)
ABU NAWAS DAN ORANG KAYA KIKIR
Suatu hari Abu Nawas berada di luar kota. Dia merasa kebingungan karena kehabisan bekal untuk pulang. Demi mendapatkan uang sekedar untuk ongkos pulang dan membeli makanan, dia terpaksa menyamar sebagai pengemis. Kebetulan dia berada di depan rumah gedong milik orang kaya raya yang terkenal sangat kikir.
“Ada apa?” tanya si kaya yang kikir itu.
“Mungkin tuan ada uang recehan,” kata Abu Nawas.
“Tidak punya.”
“Mungkin sisa nasi atau roti, tuan.”
“Tidak ada.”
“Mungkin sisa-sisa makanan apa saja.”
“Tidak punya.”
“Baiklah, kalau begitu tolong beri aku segelas air putih saja.”
“Juga tidak punya.”
“Kalau apa-apa tidak punya, apakah tidak sebaiknya tuan ikut bersama saya saja.” Kata Abu Nawas.
“Ikut ke mana?” tanya si kata kikir itu.
“Ya, ikut mengemis,” jawab Abu Nawas sambil beranjak pergi.
“Ada apa?” tanya si kaya yang kikir itu.
“Mungkin tuan ada uang recehan,” kata Abu Nawas.
“Tidak punya.”
“Mungkin sisa nasi atau roti, tuan.”
“Tidak ada.”
“Mungkin sisa-sisa makanan apa saja.”
“Tidak punya.”
“Baiklah, kalau begitu tolong beri aku segelas air putih saja.”
“Juga tidak punya.”
“Kalau apa-apa tidak punya, apakah tidak sebaiknya tuan ikut bersama saya saja.” Kata Abu Nawas.
“Ikut ke mana?” tanya si kata kikir itu.
“Ya, ikut mengemis,” jawab Abu Nawas sambil beranjak pergi.
Abunawas Dikerjain
ABUNAWAS mendapat tugas dari Sinar Harapan untuk mengisi kolom Celah-celah Ibukota. Karena raja sudah tiada maka ia tidak lagi punya kedudukan di istana sebagai penasihat dan juru bicara. Beruntung dia bisa menjadi kolumnis C-C-I-K.
Seperti diketahui, Abunawas adalah lelaki banyak akal. Orang bilang, ia berakal bulus, tetapi sebenarnya tidak. Ia orang baik. Ia selalu keluar dari kesulitan melalui etika situasi. Walaupun demikian, dia selalu dikerjain.
Ceritanya begini. Begitu diberi tugas sebagai kolumnis CCIK, ia menerima uang tugas. Ia jadi pusing memegang uang cukup banyak di masa krisis ini. Untuk menghilangkan gejala psikologis yang aneh ini ia mampir ke Sarinah. Jam menunjukkan pukul enam. Restoran-bar di samping gedung sudah dibuka. Ia duduk di kursi tinggi menghadap bar tender, memesan segelas besar bir dingin. Begitu meneguk, tubuhnya jadi dingin-dingin segar. Tiba-tiba ia ingat, anak gadis tetangganya sering main ke bar itu. Pernah sang ibu nangis-nangis di rumah Abunawas karena anaknya kena obat. Padahal anak itu baru duduk di kelas dua SMP. Ia drop out lalu bekerja di restoran Korea tetapi sehabis tugas sering ke bar, minum-minum dan ngeboat.
“Hei, Donna sering ke sini?” tanya Abunawas kepada bar tender.
“Sudah lama tidak ke sini, Oom,” jawab bar tender.
“Kemana, ya anak itu?”
“Dengar-dengar sudah ke Texas.”
“Wah!”
“Nasib orang, Oom. Ketemu pemuda bule di sini, lalu menikah dan terbang ke Texas.”
“Syukurlah. Semoga bahagia, anak itu,” kata Abu. “Banyak sudah anak perempuan kita kawin dengan orang asing.”
Tiba-tiba muncul seorang jelita duduk di sampingnya, memesan bir dingin.
“Maaf, Oom, ginjal saya tidak tahan minum obat. Kayaknya ginjal ini pabrik batu. Batu ginjal. Saya minum bir untuk melancarkan air seni agar tidak jadi batu. Maaf, Oom, saya minum dulu. Tadi saya minum obat. Terlambat sedikit, jadi batulah. Kencingnya susah banget. Maaf, Oom. Saya lama tinggal di Amerika dan Eropa, ikut orang tua, besar di sana, selalu minum bir dan anggur. Maaf, ya, Oom. Di luar negeri bir adalah minuman biasa, seperti minuman ringan lainnya. Bukan liquer. Maaf, ya, Oom.”
“Saya memberimu maaf, mari, toast.”
Setelah gelas berdenting bersulang, keduanya meneguk. Guk, guk, guk, guk, guk, habislah bir di gelas besar itu.
Wajah Sri, gadis itu, berseri-seri.
“Tambah satu,” kata Sri.
Abunawas juga minta tambah.
Setelah keduanya minum masing-masing dua gelas, Sri berdiri, menyabet tasnya dan berkata, “Bayar, ya, Oom. Sri pergi dulu. Soalnya Oom ini orang alim. Tidak pernah check in.”
Cewek peminum bir itu mendekati beberapa pria ganteng dan mencium mereka satu demi satu, ia bergabung dengan mereka yang sedang makan besar di sebuah meja bundar.
Semuanya berceloteh dalam bahasa Inggris, ketawa ngakak-ngakak. Sri dan beberapa wanita muda Indonesia benar-benar diplomat sejati.
Abunawas senang melihat yang demikian itu walaupun ia hanya kebagian sunyi di restoran bar yang ramai itu.
Tiba-tiba Donna muncul, bergabung di meja bundar itu. Abunawas tidak mau mengganggu orang berpesta. Ia hanya berkata, “Sialan, gue dikerjain bartender.” Setelah beberapa ke toilet, ia keluar.
Dengan sebuah taksi ia menuju Jatinegara, turun persis di depan stasiun. Berjalan kaki sebentar, ia sampai di depan seorang tukang jahit yang sedang vermak celana levis dengan mesin jahit tangan.
Dengan cepat ia ingin memotong ujung celana levisnya yang selalu digulung. Karena ia tidak biasa memakai celana dalam, ia beli handuk ke pedagang kakilima.
Menunggu ujung celana dipotong, tiba-tiba seorang gadis kecil berkulit kuning mendekatinya.
“Oom, kalau celananya selesai dipermak, handuknya buat kita, ya. Eti punya handuk tetapi sudah kumal. Malu ah, kalau piknik sekolah pakai handuk kumal. Eti sekolah di SMA Oom. Jadi anak jalanan begini, hanya untuk bayar uang sekolah. Maklum anak yatim piatu.”
Celana levisnya dipakai kembali dan handuknya diserahkan kepada gadis SMA itu. Gadis itu meloncat-loncat kegirangan meninggalkan Abu Nawas.
“Mending handuk itu buat saya, Oom. Kok dikasi ke pelacur jalanan. Dia bukan pelajar, Oom. Dia selalu mangkal di diskotek Ciliwung Indah sebelum temboknya dibobol oleh massa anti maksiat.”
Abunawas geleng-geleng kepala, berjalan kaki menuju tukang pijat di emperan toko yang terletak di gang sempit. Ada nenek-nenek tukang pijat yang sedang tidur di atas tikar berbantalkan balok pendek. Melihat Abunawas memperhatikannya, ia berkata, “Pijat, Oom.”
Karena pegal berjalan kaki, Abunawas menggeletakkan tubuhnya ke tikar lalu dipijat.
“Saya sering memijat turis asing di hotel. Apa artinya, ‘saya ingin membeli makanan sehat, saya mau membeli apa saja,’ Oom?”.
ìI want to buy healthy food, I want to buy everything,” kata Abunawas.
Tangan memijat, mulut perempuan tua itu mengulangi kalimat itu. Namun ia mudah lupa sehingga selalu salah ucapannya. Abunawas memperbaiki ucapan perempuan itu. Ketika mulutnya sibuk dengan bahasa Inggris, tangannya diam. Abunawas sibuk memperbaiki ucapannya sampai jam pijat selesai.
Abunawas tidak menyadari bahwa tangan perempuan tua itu menderita rematik berat, sehingga harus memakai akal bulus belajar bahasa Inggris. Dia betul-betul dikerjain, oleh perempuan muda dan tua encokan. (*)
Seperti diketahui, Abunawas adalah lelaki banyak akal. Orang bilang, ia berakal bulus, tetapi sebenarnya tidak. Ia orang baik. Ia selalu keluar dari kesulitan melalui etika situasi. Walaupun demikian, dia selalu dikerjain.
Ceritanya begini. Begitu diberi tugas sebagai kolumnis CCIK, ia menerima uang tugas. Ia jadi pusing memegang uang cukup banyak di masa krisis ini. Untuk menghilangkan gejala psikologis yang aneh ini ia mampir ke Sarinah. Jam menunjukkan pukul enam. Restoran-bar di samping gedung sudah dibuka. Ia duduk di kursi tinggi menghadap bar tender, memesan segelas besar bir dingin. Begitu meneguk, tubuhnya jadi dingin-dingin segar. Tiba-tiba ia ingat, anak gadis tetangganya sering main ke bar itu. Pernah sang ibu nangis-nangis di rumah Abunawas karena anaknya kena obat. Padahal anak itu baru duduk di kelas dua SMP. Ia drop out lalu bekerja di restoran Korea tetapi sehabis tugas sering ke bar, minum-minum dan ngeboat.
“Hei, Donna sering ke sini?” tanya Abunawas kepada bar tender.
“Sudah lama tidak ke sini, Oom,” jawab bar tender.
“Kemana, ya anak itu?”
“Dengar-dengar sudah ke Texas.”
“Wah!”
“Nasib orang, Oom. Ketemu pemuda bule di sini, lalu menikah dan terbang ke Texas.”
“Syukurlah. Semoga bahagia, anak itu,” kata Abu. “Banyak sudah anak perempuan kita kawin dengan orang asing.”
Tiba-tiba muncul seorang jelita duduk di sampingnya, memesan bir dingin.
“Maaf, Oom, ginjal saya tidak tahan minum obat. Kayaknya ginjal ini pabrik batu. Batu ginjal. Saya minum bir untuk melancarkan air seni agar tidak jadi batu. Maaf, Oom, saya minum dulu. Tadi saya minum obat. Terlambat sedikit, jadi batulah. Kencingnya susah banget. Maaf, Oom. Saya lama tinggal di Amerika dan Eropa, ikut orang tua, besar di sana, selalu minum bir dan anggur. Maaf, ya, Oom. Di luar negeri bir adalah minuman biasa, seperti minuman ringan lainnya. Bukan liquer. Maaf, ya, Oom.”
“Saya memberimu maaf, mari, toast.”
Setelah gelas berdenting bersulang, keduanya meneguk. Guk, guk, guk, guk, guk, habislah bir di gelas besar itu.
Wajah Sri, gadis itu, berseri-seri.
“Tambah satu,” kata Sri.
Abunawas juga minta tambah.
Setelah keduanya minum masing-masing dua gelas, Sri berdiri, menyabet tasnya dan berkata, “Bayar, ya, Oom. Sri pergi dulu. Soalnya Oom ini orang alim. Tidak pernah check in.”
Cewek peminum bir itu mendekati beberapa pria ganteng dan mencium mereka satu demi satu, ia bergabung dengan mereka yang sedang makan besar di sebuah meja bundar.
Semuanya berceloteh dalam bahasa Inggris, ketawa ngakak-ngakak. Sri dan beberapa wanita muda Indonesia benar-benar diplomat sejati.
Abunawas senang melihat yang demikian itu walaupun ia hanya kebagian sunyi di restoran bar yang ramai itu.
Tiba-tiba Donna muncul, bergabung di meja bundar itu. Abunawas tidak mau mengganggu orang berpesta. Ia hanya berkata, “Sialan, gue dikerjain bartender.” Setelah beberapa ke toilet, ia keluar.
Dengan sebuah taksi ia menuju Jatinegara, turun persis di depan stasiun. Berjalan kaki sebentar, ia sampai di depan seorang tukang jahit yang sedang vermak celana levis dengan mesin jahit tangan.
Dengan cepat ia ingin memotong ujung celana levisnya yang selalu digulung. Karena ia tidak biasa memakai celana dalam, ia beli handuk ke pedagang kakilima.
Menunggu ujung celana dipotong, tiba-tiba seorang gadis kecil berkulit kuning mendekatinya.
“Oom, kalau celananya selesai dipermak, handuknya buat kita, ya. Eti punya handuk tetapi sudah kumal. Malu ah, kalau piknik sekolah pakai handuk kumal. Eti sekolah di SMA Oom. Jadi anak jalanan begini, hanya untuk bayar uang sekolah. Maklum anak yatim piatu.”
Celana levisnya dipakai kembali dan handuknya diserahkan kepada gadis SMA itu. Gadis itu meloncat-loncat kegirangan meninggalkan Abu Nawas.
“Mending handuk itu buat saya, Oom. Kok dikasi ke pelacur jalanan. Dia bukan pelajar, Oom. Dia selalu mangkal di diskotek Ciliwung Indah sebelum temboknya dibobol oleh massa anti maksiat.”
Abunawas geleng-geleng kepala, berjalan kaki menuju tukang pijat di emperan toko yang terletak di gang sempit. Ada nenek-nenek tukang pijat yang sedang tidur di atas tikar berbantalkan balok pendek. Melihat Abunawas memperhatikannya, ia berkata, “Pijat, Oom.”
Karena pegal berjalan kaki, Abunawas menggeletakkan tubuhnya ke tikar lalu dipijat.
“Saya sering memijat turis asing di hotel. Apa artinya, ‘saya ingin membeli makanan sehat, saya mau membeli apa saja,’ Oom?”.
ìI want to buy healthy food, I want to buy everything,” kata Abunawas.
Tangan memijat, mulut perempuan tua itu mengulangi kalimat itu. Namun ia mudah lupa sehingga selalu salah ucapannya. Abunawas memperbaiki ucapan perempuan itu. Ketika mulutnya sibuk dengan bahasa Inggris, tangannya diam. Abunawas sibuk memperbaiki ucapannya sampai jam pijat selesai.
Abunawas tidak menyadari bahwa tangan perempuan tua itu menderita rematik berat, sehingga harus memakai akal bulus belajar bahasa Inggris. Dia betul-betul dikerjain, oleh perempuan muda dan tua encokan. (*)
Abu Nawas Sang Penggeli Hati
Sudah bertahun-tahun Baginda Raja Harun Al Rasyid ingin mengalahkan Abu Nawas. Namun perangkap-perangkap yang selama ini dibuat semua bisa diatasi dengan cara-cara yang cemerlang oleh Abu Nawas. Baginda Raja tidak putus asa. Masih ada puluhan jaring muslihat untuk menjerat Abu Nawas.
Baginda Raja beserta para menteri sering mengunjungi tempat pemandian air hangat yang hanya dikunjungi para pangeran, bangsawan dan orang-orang terkenal. Suatu sore yang cerah ketika Baginda Raja beserta para menterinya berendam di kolam, beliau berkata kepada para menteri,
"Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."
"Apakah itu wahai Paduka yang mulia ?" tanya salah seorang menteri.
"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya menghendaki kalian datang lebih dini besok sore. Jangan lupa datanglah besok sebelum Abu Nawas datang karena aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita." kata Baginda Raja memberi pengarahan. Baginda Raja memang sengaja tidak menyebutkan tipuan apa yang akan digelar besok.
Abu Nawas diundang untuk mandi bersama Baginda Raja dan para menteri di pemandian air hangat yang terkenal itu. Seperti yang telah direncanakan, Baginda Raja dan para meriteri sudah datang lebih dahulu. Baginda membawa sembilan belas butir telur ayam. Delapan belas butir dibagikan kepada para menterinya. Satu butir untuk dirinya sendiri. Kemudian Baginda memberi pengarahan singkat tentang apa yang telah direncanakan untuk menjebak Abu Nawas.
Ketika Abu Nawas datang, Baginda Raja beserta para menteri sudah berendam di kolam. Abu Nawas melepas pakaian dan langsung ikut berendam. Abu Nawas harap-harap cemas. Kira-kira permainan apa lagi yang akan dihadapi. Mungkin permainan kali ini lebih berat karena Baginda Raja tidak memberi tenggang waktu untuk berpikir.
Tiba-tiba Baginda Raja membuyarkan lamunan Abu Nawas. Beliau berkata, "Hai Abu Nawas, aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut dalam permainan kami"
"Permainan apakah itu Paduka yang mulia ?" tanya Abu Nawas belum mengerti.
"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang. Sebagai manusia kita mesti bisa dengan cara kita masing-masing." kata Baginda sambil tersenyum.
"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia." kata Abu Nawas agak ketakutan.
"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam dan barang siapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum!" kata Baginda.
Abu Nawas tidak berkata apa-apa.Wajahnya nampak murung. la semakin yakin dirinya tak akan bisa lolos dari lubang jebakan Baginda dengan mudah.
Melihat wajah Abu Nawas murung, wajah Baginda Raja semakin berseri-seri.
"Nan sekarang apalagi yang kita tunggu. Kita menyelam lalu naik ke atas sambil menunjukkan telur kita masing-masing." perintah Baginda Raja.
Baginda Raja dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas satu persatu derigan menanting sebutir telur ayam. Abu Nawas masih di dalam kolam. ia tentu saja tidak sempat mempersiapkan telur karena ia memang tidak tahu kalau ia diharuskan bertelur seperti ayam. Kini Abu Nawas tahu kalau Baginda Raja dan para menteri telah mempersiapkan telur masing-masing satu butir. Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur dan tidak akan pernah ada yang bisa.
Karena dadanya mulai terasa sesak. Abu Nawas cepat-cepat muncul ke permukaan kemudian naik ke atas. Baginda Raja langsung mendekati Abu Nawas.
Abu Nawas nampak tenang, bahkan ia berlakau aneh, tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara seperti ayam jantan berkokok, keras sekali sehingga Baginda dan para menterinya merasa heran.
"Ampun Tuanku yang mulia. Hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para menteri." kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.
"Kalau begitu engkau harus dihukum." kata Baginda bangga.
"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas memohon.
"Apalagi hai Abu Nawas." kata Baginda tidak sabar.
"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hamba membela diri. Sebenarnya kalau hamba mau bertelur, hamba tentu mampu. Tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bertelur. Hanya ayam betina saja yang bisa bertelur. Kuk kuru yuuuuuk...!" kata Abu Nawas dengan membusungkan dada.
Baginda Raja tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Baginda dan para menteri yang semula cerah penuh kemenangan kini mendadak berubah menjadi merah padam karena malu. Sebab mereka dianggap ayam betina.
Abu Nawas memang licin, malah kini lebih licin dari pada belut. Karena merasa malu, Baginda Raja Harun Al Rasyid dan para menteri segera berpakaian dan kembali ke istana tanpa mengucapkan sapatah kata pun.
Memang Abu Nawas yang tampaknya blo'on itu sebenarnya diakui oleh para ilmuwan sebagai ahli mantiq atau ilmu logika. Gampang saja baginya untuk membolak-balikkan dan mempermainkan kata-kata guna menjatuhkan mental lawan-lawannya
Baginda Raja beserta para menteri sering mengunjungi tempat pemandian air hangat yang hanya dikunjungi para pangeran, bangsawan dan orang-orang terkenal. Suatu sore yang cerah ketika Baginda Raja beserta para menterinya berendam di kolam, beliau berkata kepada para menteri,
"Aku punya akal untuk menjebak Abu Nawas."
"Apakah itu wahai Paduka yang mulia ?" tanya salah seorang menteri.
"Kalian tak usah tahu dulu. Aku hanya menghendaki kalian datang lebih dini besok sore. Jangan lupa datanglah besok sebelum Abu Nawas datang karena aku akan mengundangnya untuk mandi bersama-sama kita." kata Baginda Raja memberi pengarahan. Baginda Raja memang sengaja tidak menyebutkan tipuan apa yang akan digelar besok.
Abu Nawas diundang untuk mandi bersama Baginda Raja dan para menteri di pemandian air hangat yang terkenal itu. Seperti yang telah direncanakan, Baginda Raja dan para meriteri sudah datang lebih dahulu. Baginda membawa sembilan belas butir telur ayam. Delapan belas butir dibagikan kepada para menterinya. Satu butir untuk dirinya sendiri. Kemudian Baginda memberi pengarahan singkat tentang apa yang telah direncanakan untuk menjebak Abu Nawas.
Ketika Abu Nawas datang, Baginda Raja beserta para menteri sudah berendam di kolam. Abu Nawas melepas pakaian dan langsung ikut berendam. Abu Nawas harap-harap cemas. Kira-kira permainan apa lagi yang akan dihadapi. Mungkin permainan kali ini lebih berat karena Baginda Raja tidak memberi tenggang waktu untuk berpikir.
Tiba-tiba Baginda Raja membuyarkan lamunan Abu Nawas. Beliau berkata, "Hai Abu Nawas, aku mengundangmu mandi bersama karena ingin mengajak engkau ikut dalam permainan kami"
"Permainan apakah itu Paduka yang mulia ?" tanya Abu Nawas belum mengerti.
"Kita sekali-kali melakukan sesuatu yang secara alami hanya bisa dilakukan oleh binatang. Sebagai manusia kita mesti bisa dengan cara kita masing-masing." kata Baginda sambil tersenyum.
"Hamba belum mengerti Baginda yang mulia." kata Abu Nawas agak ketakutan.
"Masing-masing dari kita harus bisa bertelur seperti ayam dan barang siapa yang tidak bisa bertelur maka ia harus dihukum!" kata Baginda.
Abu Nawas tidak berkata apa-apa.Wajahnya nampak murung. la semakin yakin dirinya tak akan bisa lolos dari lubang jebakan Baginda dengan mudah.
Melihat wajah Abu Nawas murung, wajah Baginda Raja semakin berseri-seri.
"Nan sekarang apalagi yang kita tunggu. Kita menyelam lalu naik ke atas sambil menunjukkan telur kita masing-masing." perintah Baginda Raja.
Baginda Raja dan para menteri mulai menyelam, kemudian naik ke atas satu persatu derigan menanting sebutir telur ayam. Abu Nawas masih di dalam kolam. ia tentu saja tidak sempat mempersiapkan telur karena ia memang tidak tahu kalau ia diharuskan bertelur seperti ayam. Kini Abu Nawas tahu kalau Baginda Raja dan para menteri telah mempersiapkan telur masing-masing satu butir. Karena belum ada seorang manusia pun yang bisa bertelur dan tidak akan pernah ada yang bisa.
Karena dadanya mulai terasa sesak. Abu Nawas cepat-cepat muncul ke permukaan kemudian naik ke atas. Baginda Raja langsung mendekati Abu Nawas.
Abu Nawas nampak tenang, bahkan ia berlakau aneh, tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara seperti ayam jantan berkokok, keras sekali sehingga Baginda dan para menterinya merasa heran.
"Ampun Tuanku yang mulia. Hamba tidak bisa bertelur seperti Baginda dan para menteri." kata Abu Nawas sambil membungkuk hormat.
"Kalau begitu engkau harus dihukum." kata Baginda bangga.
"Tunggu dulu wahai Tuanku yang mulia." kata Abu Nawas memohon.
"Apalagi hai Abu Nawas." kata Baginda tidak sabar.
"Paduka yang mulia, sebelumnya ijinkan hamba membela diri. Sebenarnya kalau hamba mau bertelur, hamba tentu mampu. Tetapi hamba merasa menjadi ayam jantan maka hamba tidak bertelur. Hanya ayam betina saja yang bisa bertelur. Kuk kuru yuuuuuk...!" kata Abu Nawas dengan membusungkan dada.
Baginda Raja tidak bisa berkata apa-apa. Wajah Baginda dan para menteri yang semula cerah penuh kemenangan kini mendadak berubah menjadi merah padam karena malu. Sebab mereka dianggap ayam betina.
Abu Nawas memang licin, malah kini lebih licin dari pada belut. Karena merasa malu, Baginda Raja Harun Al Rasyid dan para menteri segera berpakaian dan kembali ke istana tanpa mengucapkan sapatah kata pun.
Memang Abu Nawas yang tampaknya blo'on itu sebenarnya diakui oleh para ilmuwan sebagai ahli mantiq atau ilmu logika. Gampang saja baginya untuk membolak-balikkan dan mempermainkan kata-kata guna menjatuhkan mental lawan-lawannya
Abu Nawas Masuk Penjara
bu Nawas masih mengeram di penjara. Namun begitu Abu Nawas masih bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan memakai tangan orang lain. Baginda berpikir. Sejenak kemudian beliau segera memerintahkan sipir penjara untuk membebaskan Abu Nawas. Baginda Raja tidak ingin menanggung resiko yang lebih buruk. Karena akal Abu Nawas tidak bisa ditebak. Bahkan di dalam penjara pun Abu Nawas masih sanggup menyusahkan orang.
Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat. Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghirup udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja.
Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib. Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang handal dalam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.
Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini bemiat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng. Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian.
Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?"
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
"Engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang. Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
Keputusan yang dibuat Baginda Raja untuk melepaskan Abu Nawas memang sangat tepat. Karena bila sampai Abu Nawas bertambah sakit hati maka tidak mustahil kesusahan yang akan ditimbulkan akan semakin gawat. Kini hidung Abu Nawas sudah bisa menghirup udara kebebasan di luar. Istri Abu Nawas menyambut gembira kedatangan suami yang selama ini sangat dirindukan. Abu Nawas juga riang. Apalagi melihat tanaman kentangnya akan membuahkan hasil yang bisa dipetik dalam waktu dekat.
Abu Nawas memang girang bukan kepalang tetapi ia juga merasa gundah. Bagaimana Abu Nawas tidak merasa gundah gulana sebab Baginda sudah tidak lagi memakai perangkap untuk memenjarakan dirinya. Tetapi Baginda Raja langsung memenjarakannya. Maka tidak mustahil bila suatu ketika nanti Baginda langsung menjatuhkan hukuman pancung. Abu Nawas yakin bahwa saat ini Baginda pasti sedang merencanakan sesuatu. Abu Nawas menyiapkan payung untuk menyambut hujan yang akan diciptakan Baginda Raja.
Pada hari itu Abu Nawas mengumumkan dirinya sebagai ahli nujum atau tukang ramal nasib. Sejak membuka praktek ramal-meramal nasib, Abu Nawas sering mendapat panggilan dari orang-orang terkenal. Kini Abu Nawas tidak saja dikenal sebagai orang yang handal dalam menciptakan gelak tawa tetapi juga sebagai ahli ramal yang jitu.
Mendengar Abu Nawas mendadak menjadi ahli ramal maka Baginda Raja Harun Al Rasyid merasa khawatir. Baginda curiga jangan-jangan Abu Nawas bisa membahayakan kerajaan. Maka tanpa pikir panjang Abu Nawas ditangkap. Abu Nawas sejak semula yakin Baginda Raja kali ini bemiat akan menghabisi riwayatnya. Tetapi Abu Nawas tidak begitu merasa gentar. Mungkin Abu Nawas sudah mempersiapkan tameng. Setelah beberapa hari meringkuk di dalam penjara, Abu Nawas digiring menuju tempat kematian.
Tukang penggal kepala sudah menunggu dengan pedang yang baru diasah. Abu Nawas menghampiri tempat penjagalan dengan amat tenang. Baginda merasa kagum terhadap ketegaran Abu Nawas. Tetapi Baginda juga bertanya-tanya dalam hati mengapa Abu Nawas begitu tabah menghadapi detik-detik terakhir hidupnya. Ketika algojo sudah siap mengayunkan pedang, Abu Nawas tertawa-tawa sehingga Baginda menangguhkan pemancungan.
Beliau bertanya, "Hai Abu Nawas, apakah engkau tidak merasa ngeri menghadapi pedang algojo?"
"Ngeri Tuanku yang mulia, tetapi hamba juga merasa gembira." jawab Abu Nawas sambil tersenyum.
"Engkau merasa gembira?" tanya Baginda kaget.
"Betul Baginda yang mulia, karena tepat tiga hari setelah kematian hamba, maka Baginda pun akan mangkat menyusul hamba ke liang lahat, karena hamba tidak bersalah sedikit pun." kata Abu Nawas tetap tenang. Baginda gemetar mendengar ucapan Abu Nawas. dan tentu saja hukuman pancung dibatalkan.
Abu Nawas digiring kembali ke penjara. Baginda memerintahkan agar Abu Nawas diperlakukan istimewa. Malah Baginda memerintahkan supaya Abu Nawas disuguhi hidangan yang enak-enak. Tetapi Abu Nawas tetap tidak kerasa tinggal di penjara. Abu Nawas berpesan dan setengah mengancam kepada penjaga penjara bahwa bila ia terus-menerus mendekam dalam penjara ia bisa jatuh sakit atau meninggal Baginda Raja terpaksa membebaskan Abu Nawas setelah mendengar penuturan penjaga penjara.
Langganan:
Postingan (Atom)